Namun sering kali terjadi kekeliruan dalam masyarakat, bahkan di kalangan pejabat, bahwa setiap pemimpin yang dipilih melalui pilkada otomatis adalah wakil rakyat. Ini adalah kesalahan konsep yang mereduksi arsitektur pemerintahan kita. Pilkada memang memberikan legitimasi elektoral kepada Bupati, tetapi legitimasi elektoral tidak sama dengan legitimasi representatif. Rakyat memilih Bupati bukan untuk membawa suara mereka ke dalam arena legislasi, melainkan untuk menjalankan pemerintahan. Mereka memilih DPRD untuk menjalankan fungsi representasi formal. Itulah mengapa dalam konteks sosiologi politik, legitimasi eksekutif dan legitimasi representatif memiliki karakter yang berbeda. Bupati memimpin, sementara DPRD mewakili.
Ketika terjadi konflik anggaran misalkan tentu berdampak pada pemahaman keliru tentang siapa wakil rakyat inilah yang sering membuat relasi eksekutif—legislatif menjadi kabur. Bupati bisa saja menyatakan “saya dipilih rakyat” tentu benar secara faktual, tetapi klaim itu tidak mengubah posisi hukumnya. Ia tetap kepala pemerintahan, bukan representasi politik rakyat. Justru DPRD-lah yang secara hukum berbicara atas nama rakyat dalam proses pembentukan anggaran. Struktur ini dirancang agar terjadi saling kendali, bukan dominasi satu pihak.





