Dengan demikian, dalam kerangka hukum dasar maupun norma demokrasi, Bupati tidak dapat disebut wakil rakyat. Ia adalah pejabat eksekutif yang memperoleh legitimasi melalui pemilu, tetapi bukan representatif legislatif yang menjalankan fungsi perwakilan. Nomenklatur ini bukan hanya persoalan istilah; ia adalah fondasi menjaga keseimbangan kekuasaan. Ketika sebuah daerah keliru memahami batas-batas ini, maka yang muncul adalah kekuasaan eksekutif yang membesar, DPRD yang melemah, dan akhirnya distorsi demokrasi lokal.
Penegasan bahwa Bupati bukan wakil rakyat penting untuk menjaga agar tidak terjadi klaim kekuasaan yang melewati batas. Kepala daerah perlu menjalankan mandatnya sebagai pemimpin pemerintahan, bukan mengklaim fungsi representasi yang bukan miliknya. Dalam negara hukum, jabatan bukan ditentukan oleh siapa yang paling keras mengaku, tetapi oleh struktur normatif yang telah ditetapkan undang-undang. Dan undang-undang, secara terang dan tegas, hanya mengakui DPRD sebagai wakil rakyat daerah.





