Menurutnya, Papua itu paradoks karena menjadi salah satu daerah paling miskin di Indonesia sementara hasil alamnya begitu kaya. “Salah satu penyebabnya adalah regulasi yang tumpang tindih dari pusat dan model pembangunan yang tidak partisipatif melihatkan OAP sebagai pengambil keputusan yang penting,” ujarnya.
Sementara itu Romo Magnis- Suseno SJ menyebut problem Papua adalah soal kemanusiaan yang sudah terjadi terlalu lama sejak integrasi. Kekerasan, menurutnya, adalah akar dari banyaknya persoalan di Papua selama lebih dari 60 tahun. “Papua adalah luka terbuka di dalam negara ini. Impunitas yang terjadi di Indonesia dan secara khusus di Papua harus diakhiri,” ungkap ahli etika itu.
Ia mengusulkan agar ada perundingan antara Papua dan Jakarta untuk membicarakan ulang persoalan yang terjadi. “Ini bisa dilakukan di luar negeri dengan kondisi yang bebas untuk membicarakan soal ini. Pemerintah mesti mengurangi militer yang ada di Papua,” tandas Romo Magnis-Suseno.
Ia juga mengimbau agar Gereja mendukung perjuangan rakyat Papua untuk kesetaraan dan hak-hak yang sama dengan orang Indonesia lainnya. “Saya berharap Gereja Katolik dan juga Gereja-Gereja lokal di Papua, untuk mendukung perjuangan rakyat Papua dalam menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia,” tandas Romo Magnis-Suseno.



