Oleh : Evensianus Dahe Jawang
Floresupdate.com, OPINI – Natal kerap dirayakan sebagai peristiwa sukacita yang penuh simbol lampu, lagu damai, dan ritual keagamaan yang khidmat. Namun, di balik seluruh kemeriahan itu, Natal sesungguhnya menyimpan pesan yang jauh lebih dalam dan menantang. Ia bukan hanya perayaan iman, melainkan panggilan hati yang menuntut tanggung jawab nyata dari setiap umat beriman.
Kelahiran Kristus di palungan adalah narasi iman yang sarat makna sosial. Ia lahir bukan di pusat kekuasaan, bukan di ruang yang aman dan nyaman, melainkan di pinggiran—di tempat yang bahkan tidak layak disebut sebagai ruang hidup manusia. Pilihan ini bukan kebetulan teologis, melainkan pernyataan moral bahwa Allah berpihak pada kerendahan, pada yang kecil, pada mereka yang sering diabaikan oleh sistem dan logika dunia.
Di tengah realitas hari ini, pesan Natal justru semakin relevan. Masyarakat hidup dalam situasi yang ditandai oleh polarisasi, ketimpangan ekonomi, kekerasan simbolik maupun nyata, serta menurunnya kepekaan sosial. Dalam kondisi seperti ini, Natal tidak boleh direduksi menjadi seremoni tahunan yang berakhir pada nostalgia religius. Natal menuntut umat untuk bertanya lebih jujur: sejauh mana iman masih memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan?
Iman yang dirayakan tanpa tanggung jawab sosial berisiko menjadi kosong. Gereja dan umat dipanggil untuk tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi menghadirkannya dalam ruang-ruang konkret kehidupan. Natal mengingatkan bahwa keberpihakan pada kemanusiaan adalah inti dari spiritualitas Kristiani. Membela martabat manusia, merawat keadilan, dan menolak segala bentuk kekerasan adalah bagian tak terpisahkan dari kesaksian iman.
Natal juga menantang umat untuk keluar dari zona nyaman. Mengasihi, sebagaimana diajarkan oleh Kristus, bukanlah sikap pasif. Ia menuntut keberanian moral untuk bersuara bagi yang dibungkam, hadir bagi yang disingkirkan, dan setia pada nilai kebenaran meski berhadapan dengan risiko sosial. Dalam konteks ini, Natal bukan perayaan yang menenangkan, melainkan peristiwa iman yang menggugat nurani.








