Lebih jauh, Natal mengajak umat untuk menata ulang relasi sosial. Di tengah budaya yang mudah menghakimi dan saling meniadakan, Natal menawarkan jalan pengampunan dan dialog. Bukan pengampunan yang menutup mata terhadap ketidakadilan, melainkan pengampunan yang lahir dari keberanian untuk memutus rantai kebencian. Damai Natal tidak hadir secara instan, tetapi dibangun melalui pilihan-pilihan etis yang konsisten.
Natal adalah undangan untuk menjadikan iman sebagai kekuatan transformasi sosial. Terang Natal tidak dimaksudkan untuk disimpan dalam ruang privat, tetapi dibawa ke ruang publik dalam sikap jujur, kebijakan yang adil, dan solidaritas yang nyata. Natal menemukan maknanya ketika umat berani menerjemahkan doa menjadi tindakan, dan harapan menjadi komitmen.
Natal akan selalu dirayakan setiap tahun. Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah ia hanya berhenti pada perayaan, atau sungguh menjadi panggilan hati yang diwujudkan dalam tanggung jawab iman? Jawaban atas pertanyaan inilah yang menentukan apakah Natal masih hidup, atau sekadar menjadi tradisi yang kehilangan daya ubahnya.








