Kembali ke Pantai Kota Raja
Bagaimana pun gemerlapnya Pantai Kota Raja by now, tak bisa menghalau pergi begitu saja kisah-kisah yang telah terlewati nyaris 50 tahun silam. Ini tempat kami ‘main bola, mandi laut, berebut ikan yang lolos dari pukat nelayan, kejar kojo (kepiting). Teringat lagi nekadnya kami terjun bebas (poro) dari jembatan pelabuhan. Bertarung nyali versus arus dan ombak.
Di Pantai Kota Raja itu, dulu, kami suka untuk kumpul ranting-ranting kering. Bikin perapian untuk bakar pisang atau ubi. Anehnya, kami tidak merasa jijik di area itu. Padahal ini kawasan ‘tempat segala tujuan yang rawan penyakit.’ Sebab, buang sampah di situ, potong kambing (rore rongo), demi warung soto-sate juga di situ. Dan yang tak mungkin dilupa adalah bahwa ‘sampah yang datang dari perut manusia pun, didrop bebas merdeka di situ juga.
Tapi, kami anak-anak tak peduli. ‘Maen saban hari di area itu, ya jalan terus.’ Oh iya, ada teman-teman saya bernama Hasan, Amir, Idris, Faisal, dan seterusnya. Kawan-kawan sebaya ini muslim. “Dorang ini tahu juga kalo kami ini Katolik-Kristen.” Semuanya gembira untuk ‘mandi laut, tantang ombak dan bersenang apa saja di kawasan Pantai Raja itu.
Namanya saja anak-anak. Tentu, tak ada pikiran aneh-aneh yang diasapi oleh sentimen agama atau kepentingan ‘politik sektarian’ ini dan itu. Intinya, kami bersenang-senang dan ceriah bersama! Tentu dalam alam Kasih Persaudaraan. Jadi, himbauan dari moto episkopal Bapa Uskup Budi, ‘Caritas Fraternitatis Maneat in Vobis‘ (Peliharalah Kasih Persaudaraan) wah itu yang sudah kami pelihara sejak waktu-waktu lalu di kawasan Pantai Kota Raja. Kami telah belajar lewati sekat-sekat dan batas-batas penghalang yang mengancam dan bisa jadi modal pembunuh Kasih Persaudaraan.