Akhirnya…
Bagaimana pun area malam Pantai Kota Raja mesti ditinggalkan. Saya mesti segera pulang ke puncak Jalan Pahlawan. Oh iya, lewati kawasan Lapangan Pancasila, di balik tembok tribun, masih sempat terlihat cahaya redup kurang berdaya dari dua lampu pelita. Dua ine bertahan demi jualan mereka seadanya. Sedemikian kecil meja dengan jajakan sedikit biskuit, kripik, aqua, isbonbon, dan kacang goreng andalan. “Wah, mo dapat laku berapa juga dengan volume jualan seperti itu?”
Tapi, saat diajak ngobrol-ngobrol? Segera terpancar sukacita dan harapan. Mereka sepertinya tak peduli dengan makin gemerlapnya kawasan Pantai Kota Raja atau suasana di seputaran Lapangan Pancasila. Pelita bernyala dan kacang goreng tetap menantang zaman yang berubah namun penuh tanya.
Memang tak sempat ditanya “kira-kira laku berapa dan untungnya berapa semalam dari hasil berjualan.” Tentu sedikit sajalah! Di bawah standar hidup fisik-material. Tapi dua ine ini, sepertinya, itu tadi, pancarkan wajah ceriah. Bicara penuh spontan. Dihiasi senyum polos penuh lepas.
Saya bayangkan saja betapa dua ine ini dapat jalani hidup apa adanya. Keduanya miliki hati penuh syukur pada Yang Kuasa. Mungkinkah orang-orang seperti ‘lebih berharga di mata Tuhan?’
Ada pengandaian penuh serempet dan penuh halusinasi pula di dalam hati begini: “Wah, sekiranya simpang siurnya arus bergerak Dana Hibah KONI Kabupaten Ende yang (katanya) sudah disinari terang gemerlap cahaya yuridis itu, boleh diteguhkan juga dengan spirit ‘sinar pelita bernyala sederhana jualan kacang goreng milik dua ine itu?’ Tentu dana hibah KONI Kabupaten Ende tak tetap tinggal bak misteri dan tetap kusut berbelit-terbelit..”
Wah, memang ada-ada saja ini.
Verbo Dei Amorem Spiranti