Floresupdate.com, Opini – Isu geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, tak hanya memanas di bawah tanah, tetapi juga membara di permukaan. Alih-alih dikelola dengan pendekatan persuasif, konflik yang muncul justru diperparah oleh tindakan pemimpin daerah beberapa waktu lalu yang terlihat tidak terpuji. Saat masyarakat berharap kehadiran pemimpin yang menyejukkan, yang muncul malah pemimpin yang menyulut bara menggantikan ruang dialog dengan menghadirkan massa tandingan.
Tindakan menghadirkan massa tandingan dalam situasi penuh ketegangan adalah bentuk pembelahan yang membahayakan tatanan demokrasi di tingkat daerah. Dalam sistem demokrasi yang sehat, konflik diselesaikan dengan berdialog, bukan dengan mobilisasi massa untuk saling berkonfrontasi. Ketika seorang pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk memunculkan blok tandingan terhadap rakyatnya sendiri, itu bukan hanya bentuk kekeliruan politik, melainkan kekerasan simbolik yang merusak kepercayaan warga terhadap pemimpinnya.
Proyek geotermal yang sejak awal menuai penolakan luas dari masyarakat adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, seharusnya ditanggapi dengan pendekatan partisipatif dan persuasif. Namun pemerintah daerah, alih-alih memfasilitasi ruang dialog antara masyarakat, pemerintah, dan pihak lainnya, justru mengambil posisi seolah sebagai corong kepentingan investor dan pemerintah pusat. Situasi ini kian parah ketika perbedaan aspirasi warga malah disambut dengan mobilisasi masa yang bertujuan mengintimidasi, bukan meneduhkan.
Seorang pemimpin daerah merupakan perwujudan kehadiran negara yang paling dekat dengan masyarakat. Pemimpin daerah memikul tanggung jawab moral dan politik untuk menjaga hubungan sosial, merawat ruang demokrasi, serta memastikan tidak ada warga yang tersingkir hanya karena berseberangan dengan kebijakan. Maka ketika pemimpin justru menjadi bagian dari skema yang menambah bara ketegangan, pemimpin tersebut telah gagal menjalankan mandatnya sebagai pemimpin yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam konteks Manggarai dan wilayah-wilayah lain di Nusa Tenggara Timur, di mana konflik agraria dan eksploitasi sumber daya alam masih marak terjadi dan menjadi luka tersendiri, tindakan seperti ini menjadi sangat berbahaya. Menghalalkan mobilisasi massa untuk melawan warga lain demi membela kepentingan investor adalah praktik yang menyerupai pola-pola kekuasaan otoriter. Hal ini tidak akan hanya membungkam, tapi juga mengadu domba. Sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat yang diadu secara horizontal hanya meninggalkan trauma, luka sosial, dan krisis kepercayaan jangka panjang.
Lebih jauh, ini bukan semata soal satu insiden atau satu proyek saja, melainkan soal arah kepemimpinan lokal ke depannya. Apakah kita akan membiarkan pemimpin daerah menjadi alat kekuasaan pusat dan investor, atau kita menuntut pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyatnya sendiri? Apakah suara masyarakat adat akan terus dikesampingkan, atau justru menjadi dasar bagi kebijakan yang berpijak pada keadilan ekologis dan keberlanjutan?
Kita harus mengakui bahwa menjadi pemimpin di tengah krisis bukan perkara mudah. Tapi justru di saat seperti itulah karakter sejati seorang pemimpin diuji. Apakah ia akan berdiri di tengah, menjadi penyejuk, atau sebaliknya, ikut menyiram bensin ke dalam bara? Ketika pemimpin lebih sibuk mengatur pencitraan dan narasi politik ketimbang mendengar jeritan rakyat kecil, maka yang rusak bukan hanya legitimasi pribadi, tetapi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan secara keseluruhan.
Tindakan seperti ini tidak boleh menjadi preseden. Kita tidak boleh membiasakan diri melihat kekuasaan digunakan untuk membungkam warga. Demokrasi yang kita bangun dengan susah payah bisa runtuh jika praktik seperti ini dibiarkan dan ditoleransi. Apalagi jika media, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil tidak bersuara. Diam di tengah situasi seperti ini sama artinya dengan merestui kekuasaan yang melenceng dari prinsip keadilan.
Menjadi pemimpin bukan soal elektabilitas atau keberhasilan dalam membangun pencitraan di media sosial. Kepemimpinan adalah soal komitmen terhadap nilai nilai keadilan, kejujuran, empati, dan keterbukaan. Seorang pemimpin sejati tidak memusuhi rakyatnya sendiri, melainkan ia hadir sebagai pelindung dan pembuka ruang, bukan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan yang tuli terhadap jeritan masyarakat akar rumput.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk tetap kritis dan tidak melupakan peristiwa ini. Pemimpin yang gagal meredam dan justru menyulut api di tengah keresahan rakyat bukanlah sosok yang patut diteladani, apalagi dipertahankan. Kita membutuhkan kepala daerah yang hadir untuk rakyat, bukan yang memecah rakyat. Rakyat Manggarai dan seluruh warga NTT layak mendapatkan pemimpin yang bijak, adil, dan berpihak kepada masa depan, bukan yang membajak kepercayaan demi kuasa sesaat.