Oleh: Patricius Marianus Botha, S.Fil., M.Si
Pendahuluan
Dalam bayang-bayang euforia pembangunan dan transisi energi bersih yang digadang-gadang pemerintah pusat, proyek geothermal (panas bumi) di Pulau Flores justru menimbulkan kegelisahan yang semakin menguat di tengah masyarakat adat dan komunitas lokal. Wilayah yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menjadi sasaran proyek geothermal skala besar oleh BUMN maupun pihak swasta, dengan dalih mendorong kemandirian energi nasional. Namun, proyek-proyek ini seringkali berjalan tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat, dengan minimnya transparansi, partisipasi, dan jaminan terhadap keberlanjutan ekologis serta sosial budaya. Di tengah eskalasi ketegangan ini, keterlibatan dan sikap para anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari daerah pemilihan Flores patut dipertanyakan dan dikritisi secara tajam.
Sebagai lembaga representatif yang diklaim mewakili suara dan kepentingan daerah, DPD RI semestinya memainkan peran strategis dalam memastikan bahwa pembangunan nasional tidak mengorbankan hak hidup, hak adat, dan hak ekologis masyarakat Flores. Namun, dalam konteks geothermal di Flores, para senator dari NTT tampak redup, nyaris absen dari perdebatan publik maupun advokasi nyata. Kritik ini hendak menggugat keberadaan dan fungsi anggota DPD RI dari Flores dalam isu geothermal, sebagai wujud keprihatinan sekaligus seruan moral untuk membela ruang hidup rakyat.
1. Absen dalam Krisis: Diamnya DPD dalam Pusaran Konflik Geothermal
Dalam konflik geothermal di wilayah-wilayah seperti Poco Leok (Manggarai), Ulumbu, serta potensi eksplorasi di Bajawa dan Ende, masyarakat menghadapi tekanan dari korporasi dan negara. Mereka kehilangan akses atas tanah ulayat, khawatir akan kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber-sumber air yang menjadi tumpuan hidup. Aksi-aksi protes, pemblokiran jalan, dan pernyataan sikap dari komunitas adat sudah sering terdengar, bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat menghadapi represi dan kriminalisasi. Di tengah semua itu, pertanyaannya: di mana suara DPD?
DPD RI seolah bungkam. Tak ada konferensi pers, tak ada inisiatif dengar pendapat terbuka, dan bahkan tidak ada narasi perlindungan terhadap masyarakat adat yang disuarakan melalui forum nasional. Padahal, dalam tupoksinya, DPD memiliki fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, termasuk UU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan UU Lingkungan Hidup. Ketiadaan suara DPD dalam isu geothermal bukan hanya soal kelalaian administratif, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusional untuk membela daerah dan rakyatnya.
2. Legitimasi Diam: Ketika Keheningan DPD Justru Menguntungkan Korporasi
Kritik tajam patut diarahkan pada bagaimana diamnya anggota DPD justru memberi ruang nyaman bagi korporasi energi untuk bergerak dengan legitimasi negara. Tanpa perlawanan dari wakil daerah, proyek geothermal dengan mudah melewati fase perencanaan tanpa pengawasan publik. Bahkan, perusahaan bisa menggunakan argumen “dukung pemerintah daerah dan pusat” untuk menyingkirkan resistensi lokal, karena tidak ada narasi tandingan dari lembaga representasi seperti DPD RI.
Dalam konteks ini, para senator seakan lebih memilih berada di sisi kekuasaan dan modal ketimbang berdiri bersama rakyat. Mereka absen dalam proses peninjauan ulang AMDAL, tidak mendorong transparansi data eksplorasi dan studi kelayakan, serta tidak menginisiasi dialog inklusif antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku industri. Akibatnya, geothermal tidak dilihat sebagai isu politis yang perlu diperjuangkan secara serius oleh perwakilan daerah, melainkan hanya sebagai proyek teknokratis.
3. Krisis Representasi: Ketika DPD Menjadi Simbol Tanpa Isi
Fenomena ini memperkuat kritik lama bahwa DPD RI telah menjadi lembaga yang simbolik, bukan substantif. Keterwakilan daerah yang diemban oleh para anggota DPD seringkali berakhir pada rutinitas administratif dan seremoni, bukan pada pembelaan konkret terhadap hak-hak rakyat di lapangan. Dalam kasus geothermal, tidak terlihat adanya inisiatif dari DPD untuk membentuk tim khusus, melakukan investigasi lapangan, atau menyusun laporan kritis atas pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
Parahnya lagi, beberapa anggota DPD bahkan terkesan membiarkan narasi pembangunan nasional menyingkirkan narasi lokal, seolah rakyat Flores harus rela “mengorbankan ruang hidupnya demi energi nasional.” Ini bukan hanya bentuk kegagalan representasi, tetapi bentuk kekerasan simbolik yang mengaburkan penderitaan rakyat dengan dalih pembangunan.
4. Membangun Ulang Fungsi DPD: Seruan untuk Politik Keterlibatan
Sudah saatnya DPD RI, khususnya dari dapil NTT, mereformulasi ulang peran dan fungsinya dalam isu geothermal. Mereka harus mengedepankan pendekatan keterlibatan (engagement politics) yang berpihak pada rakyat. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan, antara lain:
- Membentuk tim investigasi DPD atas proyek-proyek geothermal di Flores.
- Menyelenggarakan forum publik bersama masyarakat adat, LSM, akademisi, dan pemerintah daerah.
- Mendesak Kementerian ESDM untuk membuka dokumen perencanaan proyek geothermal secara transparan.
- Mengadvokasi moratorium proyek geothermal di wilayah-wilayah yang sedang mengalami konflik sosial dan ekologis.
- Menyusun laporan resmi DPD kepada Presiden dan DPR RI yang merekomendasikan perlindungan ruang hidup masyarakat adat di Flores.
DPD tidak cukup hanya melakukan kunjungan kerja dan menerima laporan dari instansi vertikal. Mereka harus hadir, mendengarkan, dan memperjuangkan suara rakyat yang selama ini dibungkam.
5. Penutup: Menagih Pertanggungjawaban Moral dan Politik
Isu geothermal di Flores adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan wilayah timur Indonesia: sebagai ruang eksploitasi energi dan sumber daya, tanpa mendengar narasi lokal dan nilai-nilai ekologis masyarakatnya. Dalam kondisi seperti ini, para anggota DPD RI dari Flores seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan rakyat. Namun sayangnya, mereka justru menjadi barisan diam yang tidak menantang ketimpangan.
Kritik ini adalah bentuk penagihan tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab politik kepada konstituen, tetapi tanggung jawab moral kepada sejarah dan masa depan Flores. Bila DPD terus diam, maka mereka bukan hanya gagal menjalankan mandat, tetapi juga turut menjadi bagian dari sistem yang merampas ruang hidup rakyat atas nama kemajuan.
Sudah waktunya rakyat Flores mempertanyakan ulang siapa sebenarnya yang mereka wakilkan ke Senayan. Sebab, representasi tanpa keberpihakan hanyalah topeng demokrasi yang menipu.