Floresupdate.com, Opini – Beberapa bulan terakhir dalam tahun 2025 dan sejak di awal tahun 2025, Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus menyatakan sikap tegas Gereja Katolik terhadap proyek geothermal di Flores, Nusa Tenggara Timur, diskursus tak dapat dibendung baik dalam perbincangan lepas maupun sampai pada seminar di meja ilmiah. Namun “seakan” sebuah Diskusi, implemntasi pelaksanaan proyek semakin intensif dijalankan dengan dalih pemenuhan energi terbarukan nasional. Di balik narasi pembangunan ini, muncul retorika yang tampaknya tak terbantahkan: “pemberdayaan masyarakat.” Namun, dengan menggunakan kerangka teori wacana Michel Foucault, kita perlu bertanya: pemberdayaan untuk siapa, oleh siapa, dan dalam kerangka kuasa seperti apa?
Menurut Foucault, wacana tidak netral. Ia bukan sekadar cara kita berbicara tentang dunia, melainkan cara dunia itu dibentuk dan dikendalikan melalui bahasa dan pengetahuan. Setiap wacana menciptakan kategori, identitas, dan kebenaran tertentu yang menguntungkan kekuatan dominan. Dalam konteks geothermal, pemberdayaan bukanlah praktik sosial semata, tapi bagian dari konstruksi wacana hegemonik yang memproduksi “subjek masyarakat” sebagai entitas yang kurang mampu, tertinggal, dan perlu dibantu.
Wacana pemberdayaan membentuk masyarakat sekitar proyek geothermal sebagai subjek pasif, yang harus ditransformasikan sesuai dengan visi negara dan pasar. Lewat program pelatihan, CSR, atau kegiatan pendampingan ekonomi, masyarakat dikondisikan untuk menerima proyek, bukan mempertanyakan landasan ekologis, etis, atau historis dari kehadirannya. Di sinilah bekerja apa yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi kuasa: serangkaian praktik diskursif dan non-diskursif yang mengatur tubuh dan perilaku subjek.
Foucault menyebut regime of truth sebagai sistem yang menentukan mana yang boleh dikatakan, siapa yang boleh bicara, dan apa yang dianggap sah. Dalam proyek geothermal, “kebenaran” tentang pembangunan dan pemberdayaan diproduksi oleh negara, perusahaan, akademisi teknokratik, dan LSM tertentu. Sementara suara masyarakat adat, petani, atau tokoh lokal yang mempertanyakan proyek sering kali diabaikan, dianggap irasional, bahkan dicurigai sebagai “penghambat kemajuan”.
Masyarakat yang menolak eksplorasi geothermal karena khawatir terhadap kerusakan lingkungan atau gangguan terhadap situs adat sering kali diposisikan sebagai “belum sadar pembangunan”. Di sinilah wacana pemberdayaan berubah menjadi alat delegitimasi resistensi.
Dengan bahasa yang santun namun penuh kuasa, negara atau perusahaan berkata, “Kami akan memberdayakan kalian,” seolah-olah masyarakat sebelumnya tidak memiliki daya. Padahal, masyarakat lokal memiliki sistem pengetahuan ekologis, nilai-nilai spiritualitas, dan relasi sosial yang telah mengatur hidup mereka selama berabad-abad. Semua itu dihapus dalam satu wacana dominan: pembangunan adalah satu-satunya jalan.
Wacana pemberdayaan juga bekerja melalui pembentukan subjektivitas. Dalam proyek geothermal, masyarakat dibentuk agar menjadi subjek neoliberal: individu yang produktif secara ekonomi, menerima logika pasar, dan tidak menuntut hak atas tanah atau lingkungan. Pelatihan kewirausahaan, pengembangan UMKM, atau bantuan ternak bukan semata bentuk kebaikan hati, melainkan cara membentuk subjek “ideal” bagi proyek.
Ketika masyarakat sudah merasa “berterima kasih” karena diberi modal usaha kecil atau pelatihan, resistensi terhadap proyek besar yang mengganggu hutan, air, dan ruang hidup mereka bisa perlahan dilemahkan. Inilah yang Foucault sebut sebagai kekuasaan yang menyusup ke dalam cara kita berpikir dan merasa—kekuasaan yang bekerja tanpa kekerasan, tetapi sangat efektif.
Perlawanan sebagai Produksi Wacana Alternatif
Meski wacana hegemonik kuat, masyarakat bukan semata korban pasif. Foucault meyakini bahwa di mana ada kekuasaan, di situ pula ada kemungkinan perlawanan. Komunitas adat yang menolak geothermal atas dasar spiritualitas dan hak ulayat sedang menciptakan counter-discourse—wacana tandingan yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang berdaya dan siapa yang memberdayakan.
Resistensi ini penting tidak hanya sebagai gerakan politik, tapi juga sebagai praktik epistemik, yakni mempertahankan pengetahuan lokal dan kebenaran yang tidak diakui oleh rezim dominan. Ketika masyarakat menyebut sumber panas bumi sebagai “tanah leluhur”, mereka sedang mengusulkan definisi kebenaran yang berbeda dari logika teknokratik negara dan pasar.
Apa yang dibutuhkan masyarakat Flores bukanlah pemberdayaan yang datang dari atas—yang berbicara atas nama mereka tanpa benar-benar mendengar. Yang dibutuhkan adalah pengakuan atas otonomi mereka dalam menentukan masa depan ruang hidupnya. Proyek geothermal bukan mustahil, tetapi harus dibicarakan dengan jujur, adil, dan partisipatif—bukan dengan narasi hegemonik yang menyamar sebagai “kepedulian sosial”.
Foucault mengingatkan kita bahwa bahasa adalah alat kekuasaan. Maka setiap kali kita mendengar kata “pemberdayaan”, kita perlu bertanya: kuasa siapa yang sedang bekerja di balik kata-kata itu?