Dalam situasi demikian, beliau melihat bahwa status guru-guru swasta bersubsidi tidaklah aman, sebab subsidi sewaktu-waktu dapat berkurang, diperumit, bahkan dicabut. Dan yayasan-yayasan tidak kuat secara finansial.
Maka beliau berpikir demi kesejehateraan guru-guru di masa depan, sebaiknya guru-guru ini menjadi pegawai negeri, dengan itu mendapat nomor induk pegawai negeri (NIP), dan otomatis kesejahteraan mereka menjadi tanggung jawab pemerintah.” Demikian tulisan romo (alm). Yosef Lalu Nono (Yos Lalu, 2012, hal.169), seorang Moderator (Pembina) Yasukel tentang Bupati Gadi Djou.
Menjadi menarik karena nama “Gadi Djou” sudah memberi tanda istimewa tersendiri. Dikenal sebelumnya Herman Josef Gadi Djou, Drs.Ekon. Seorang Bupati Ende yang dilantik kiwara September 1973.
Beliau terus memimpin Kabupaten Ende hingga Tahun 1983. Sosok Bupati Ende ini adalah ayah dari Lori Gadi Djou. Di masa kepemimpinan Herman Josef Gadi Djou, Drs.Ekon, sebagai Bupati Ende, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1979, yang isinya antara lain menegaskan bahwa guru-guru swasta bersubsidi dialihkan statusnya menjadi pegawai negeri, untuk menjamin kesejahteraan masa depan mereka, namun eksistensi yayasan dan sejumlah hak dan wewenang yayasan diakui. Demikian tambahan kesaksian dari romo (alm). Yosef Lalu Nono (Yos Lalu, 2012, hal.171).
Singkat kata, selama masa pemerintahannya sebagai Bupati Ende, yang mencapai 10 (sepuluh) tahun kerja, Herman Josef Gadi Djou, Drs.Ekon, memperhatikan kesejahteraan guru (swasta), dengan melakukan pengangkatan mereka sebagai pegawai negeri.
Dari situ terlihat keprihatinan akan kecilnya gaji guru (swasta) di satu sisi, dengan tugas menantang untuk mencerdasakan anak bangsa di sisi lain.
Dua hal yang saling meniadakan, yang justru akan menggerogoti profesionalitas seorang guru, jika tidak diatasi dan dicari jalan keluarnya. Kondisi ini tentu membutuhkan lahirnya para pemimpin daerah, yang memiliki hati dan mau memperhatikan kesejahteraan para guru, terlebih guru swasta, seperti yang telah dibuktikan oleh Herman Josef Gadi Djou, Drs.Ekon, saat menjabat sebagai Bupati Ende.
DESA PRODUKTIF KOTA KREATIF
Sikka, Kabupaten tetangga dari Ende, pernah melahirkan seorang tokoh nasional, Frans Seda. Frans Seda dikenal sebagai Menteri yang mampu menekan inflasi 650 %, di awal masa Orde Baru. Selepas jabatan Menteri, Frans Seda berkecimpung di dunia pendidikan, dengan mendirikan Unika Atma Jaya, termasuk dengan memberikan beasiswa bagi siswa/mahasiswa yang tak mampu.
Jika di Sikka ada Frans Seda, maka Ende dikenal sebagai rahim Pancasila. Tempat Sukarno merenungkan dan menginternalisasikan, serta mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.
Dari situ terbaca sangat bahwa selalu ada pemimpin yang lahir, berkat pendidikan yang baik. Dimana ada proses dan pola pendidikan yang baik, disitu akan muncul generasi muda, yang akan mampu menata masa depannya, dan memimpin masyarakat menjadi semakin makmur dan sejahtera. Karena itu, peningkatan kompetensi guru dalam bidang literasi, numerasi dan karakter menjadi kewajiban konstitusional, setelah kesejahteraan guru diperhatikan dan dipenuhi.
Sebagaimana komitmen menuju Rapor Hijau Pendidikan Ende, digaungkan semboyan “Ende Pintar, Ende Juara, dan Ende Berbudaya.” Komitmen dan Pencapaian akan Rapor Hijau Pendidikan Ende, berdasarkan “Ende Pintar, Ende Juara, dan Ende Berbudaya” jelas saja merupakan tantangan sekaligus harapan. Teristimewa bagi semua calon bupati Kabupaten Ende, yang akan bertarung dalam Pilkada 2024 ini.
Seorang Laurentius Gadi Djou, termasuk di dalamnya. Di depan Rumah Juang, Jalan Nangka – Ende, tertulis demikian ; “DESA PRODUKTIF KOTA KREATIF”. Tagline “DESA PRODUKTIF KOTA KREATIF” ini rupanya menjadi rangkuman akan gagasan Bacabub Laurentius Gadi Djou, untuk ideal Kabupaten Ende ke depannya, jika beliau terpilih nanti.