
Kalabahi, Alor, FloresUpdate.com — Aktivis Alor Corruption Watch (ACW), Imanuel Anie, menduga adanya kepentingan terselubung dalam tubuh Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) Kabupaten Alor. Kepada media ini pada Senin, 1 Desember 2025, Imanuel melayangkan kritik kerasnya terkait arah organisasi yang menaungi seluruh aparat desa di Kabupaten Alor tersebut.
Ia berharap aparat desa di 158 desa se-Kabupaten Alor tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan pihak mana pun, khususnya dalam tata kelola dan peenyelenggaraan dana desa. Pernyataan ini disampaikan menanggapi pemberitaan mengenai langkah PAPDESI yang mengirim surat kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor terkait perbaikan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di desa.
Dalam pemberitaan yang diunggah Media Kupang, terungkap bahwa surat PAPDESI ditandatangani oleh Ketua Umum Bakbe Thayeb Raboe, Sekretaris Mustafa Moka, dan Ketua Harian Ruslan Panawa, bersama 78 kepala desa lainnya. Thayeb sendiri diketahui berprofesi sebagai kontraktor/penyedia di Kabupaten Alor, sehingga memunculkan pertanyaan publik terkait potensi konflik kepentingan.
dalam surat resmi yang disampaikan organisasi tersebut kepada Kejari Alor, PAPDESI melaporkan adanya dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di desa-desa se-Kabupaten Alor. Mereka menilai sejumlah praktik tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 5 Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019 serta Pasal 61 Peraturan Bupati Alor Nomor 6 Tahun 2020.
PAPDESI juga menyoroti bahwa hampir seluruh kegiatan pengadaan di desa saat ini dilakukan melalui metode penyedia. Padahal, kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa pengadaan barang dan jasa di desa diutamakan melalui swakelola. Menurut surat itu, arahan yang mendorong penggunaan metode penyedia dinilai berpotensi menghilangkan manfaat pelaksanaan swakelola., seperti: membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat, memanfaatkan potensi dan bahan baku lokal, memperkuat nilai gotong royong, serta meningkatkan efisiensi anggaran.
PAPDESI juga menilai bahwa anggaran dana desa dapat memberikan volume pekerjaan yang lebih besar apabila dikelola secara swakelola dibandingkan melalui jasa penyedia.
Dalam surat tersebut, PAPDESI juga menerangkan bahwa laporan yang disampaikan bukan bertujuan menyalahkan pihak tertentu, melainkan sebagai bentuk keprihatinan agar pelaksanaan pengadaan desa kembali sesuai aturan dan memberi manfaat optimal bagi masyarakat.
Mereka juga membandingkan situasi di Kabupaten Alor dengan daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun luar provinsi, yang dinilai lebih konsisten menjalankan pengadaan desa secara swakelola. Metode penyedia, menurut mereka, seharusnya ditempuh hanya jika suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan melalui swakelola atau untuk mendukung kegiatan swakelola.
Menanggapi hal tersebut, Imanuel Anie mempertanyakan independensi PAPDESI, terutama karena pimpinan organisasi tersebut berasal dari kalangan penyedia jasa. Menurutnya, aparat desa harus tetap berpegang pada regulasi dan mengutamakan kepentingan masyarakat desa.
“Saya berharap, Aparat desa jangan sampai terpengaruh oleh kepentingan pihak lain. Tata kelola dana desa harus murni untuk kepentingan masyarakat,” tegas Imanuel.
Ia mengingatkan bahwa setiap langkah kebijakan terkait pengadaan barang dan jasa harus bebas dari potensi konflik kepentingan agar tidak menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan.




