Saat ini demokrasi sudah dibajak dengan money politic yang sangat massif, bisa disebut seluruh Indonesia menggunakan cara ini untuk mendapatkan dukungan. Kabupaten Ende contohnya banyak calon pemimpin yang mendadak baik dengan mengeluarkan banyak uang untuk membangun infrakstruktur seperti jalan umum, tempat ibadah dan bantuan bentuk lain untuk masyarakat, saya menyebutnya sebagai hiden money politic.
Bentuk ini sangat berbahaya karena mereka menggunakan satu kebutuhan kelompok masyarakat kemudian dipenuhi dengan modal uang yang cukup dan mengikat mereka sebagai lumbung suara. Bayangkan sebelum menjabat ia berani mengeluarkan uang pribadi untuk membangun infrastruktur yang seharusnya menggunakan APBD atau APBN dari pajak masyarakat salah satunya.
Masyarakat awam menihatnya sebagai orang yang dermawan, yang datang untuk membantu masyarakat keluar dari kesusahan, tanpa melihat apakah kalau tanpa kontekstasi demokrasi seperti Pilkada saat ini dia mau mengeluarkan uang sebanyak itu. Maka dari itu analisis kritis diperlukan dalam menjaga kewarasan dalam alam demokrasi ini.
Politisi yang menggunakan metode seperti ini biasanya akan disukai oleh masyarakat karena kebutuhannya terpenuhi dan ini merupakan bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap kepemimpinannya nanti jika terpilih.
Kenapa demikian? Karena inilah bentuk pesimis masyarakat karena setelah terpilih kepeduliannya sebagai pemimpin tidak ada sama sekali, datang hanya saat butuhnya. Jadi saat datang untuk memerlukan dukungan disaat itulah masyarakat meminta bantuan dan biasanya terpenuhi dalam waktu dekat. Ini jawaban dari banyak orang yang telah saya temui selama setahun ini.
Menurut saya dalam proses untuk menjadi seorang pemimpin tidak perlu mengeluarkan uang pribadi sebanyak mungkin apalagi sampai membangun infrastruktur umum. Kalau standar yang sudah dipakai demikian maka calon pejabat publik atau bahkan pejabat publik hanya dari kalangan atas, lantas perlu dipertanyakan esensi dari demokrasi kalau pejabat publik dimonopoli oleh kalangan atas.
Ada istilah dalam ilmu hukum pidana yakni Mens Rea atau niat jahat, dalam melihat tindak tanduk para politisi kita perlu memperhatikan niatnya. Terkadang apa yang dilakukan tidak melanggar hukum seperti menggunakan uang secara banyak untuk memikat hati rakyat seperti yang dijelaskan di atas, peristiwa ini memang tidak melanggar hukum akan tetapi tidak baik untuk nature demokrasi.
Saya juga melihat kalau elite (pemilik modal dan kuasa) pandai memanfaatkan situasi dan kondisi masyarakat. Menurut beberapa penelitian pendapatan perkapita di seluruh wilayah Indonesia di bawah 60 juta pertahun kecuali Jakarta yang kisaran 200-300 juta pertahun, dan masih banyak lagi masyarakat yang pendapatannya di bawah UMR.
Artinya bahwa masih banyak orang Indonesia yang kurang sejahtera apalagi di walayah timur seperti Kabupaten Ende ini, masih banyak pengangguran dan tidak produktif. Ini merupakan sasaran empuk apalagi kalau dampaknya secara personal. Dengan tingkat kesejahteraan yang ada makanya jangan heran kalau di pulau Jawa hanya Pilkada Jakarta yang tidak dapat dimanipulasi dengan Bantuan Sosial yang dimainkan oleh pemegang kuasa, karena tingkat kesejahteraan sudah baik, karakter pemilih kita lu mgasih gua ikut.
Kalau modelnya sudah seperti ini maka jangan heran kalau kebodohan dan kemiskinan akan terus dipelihara karena hal tersebutlah yang dapat digunakan sebagai senjata dalam kontakstasi demokrasi 5 tahun sekali. Mereka sadar betul kalau masyarakatnya sudah sejahtera dan tingkat pendidikannya sudah bagus maka politik Bansos akan tidak laku seperti di ibu kota Jakarta. Bagaimana dengan di Kabupaten Ende? Kita masih jauh dari Jakarta.