Opini  

Refleksi Demokrasi Periodik; Melihat Pilkada Ende Dari Berbagai Perspektif

Oleh: Francesco Meto Dari Tani

Peran Penyelenggara untuk Mewujudkan Demokrasi yang Berkualitas

Dalam momentum pesta demokrasi yang dihelat 5 tahum sekali kita sebagai masyarakat mempunyai hak untuk menentukan seperti apa wajah daerah kita dalam 5 tahun ke depan melalui pemimpin yang dipilih. Sejatinya menginginkan pemipin ideal yang memahami seluruh persoalan yang terjadi dan mampu menyelesaikannya. 

Pemimpin ideal terkadang memiliki beragam perspektif dan kriteriannya masing-masing, saya sendiri memiliki perspektif yang mungkin berbeda dengan kebanyakan orang, akan tetapi kita perlu menyeragamkan pemikiran dalam melawan isu ataupun praktik kurang sehat yang saat ini banyak berkembang di masyarakat.

Ada banyak yang menjadi perhatian kita bersama demi mewujudkan pemimpin yang cakap dalam memimpin, yakni tolak calon pemimpin yang menggunakan biaya kampanye secara berlebihan. Saya berpendapat bahwa setiap calon pemimpin memiliki kalkulasi secara tersendiri dalam mengambil langkah-langkah tertentu apalagi mengenai uang. 

Saya termaksud orang yang melawan stigma bahwa orang mencalonkan diri hanya untuk mencari popularitas karena gajinya tidak seberapa. Jangan sampai terbuai dengan ucapan seperti ini karena menjadi pemimpin berarti banyak keputusan penting yang melibatkan sumber daya ekonomi daerah, melalui berbagai konsesi misalnya pertambangan ataupun model lainnya akan mendatangkan surplus yang menggiurkan.

Kenapa saya memiliki asumsi demikian karena setiap manusia pada umumnya tidak akan puas dengan apa yang dimiliki. BTP/Ahok pernah bilang bahwa pejabat yang berasal dari kalangan bawah cendrung ingin memiliki Sesuatu yang tidak terlalu besar seperi mobil biasa mungkin, sedangkan pejabat yang berasal dari kalangan atas cenderung ingin memiliki sesuatu yang lebih besar mungkin jet pribadi.

Jadi memilih orang berdasarkan status sosial yang disandang terbukti tidak efektif, kita dapat lihat bahwa banyak tersangka ataupun terdakwa yang korupsi rata-rata dating dari oknum yang memiliki kekayaan yang cukup besar. Stigma memilih berdasarkan status sosial harus diterangkan dalam bentuk pendidikan pemilih tadi dengan menggunakan metode yang mudah dipahami oleh masyarakat. 

Stigma ini marak berkembang di masyarakat khusunya kabupaten ende, karena dengan pemikiran yang sederhana mereka menganggap peluang korupsi untuk pejabat yang kaya itu sangat sedikit bahkan nihil. Ini tidak betul karena beberapa penelitian dan penuturan dari beberapa ahli kejiwaan atau semacamnya bahwa rata-rata manusia tidak akan puas dengan apa yang dimilikinya sekarang.

Salah satu contoh dari pemahaman secara umum seperti yang diuraikan di atas seharusnya menjadi pegangan sebagai penyelanggara khusunya di bidang Pendidikan pemilih, karena kita dapat menguraikan sesuatu yang dianggap normal di masyarakat dan dikemas dalam bentuk yang sederhana dan mudah dipahami. Sehingga masyarakat dapat memahami bahwa Sesuatu yang dianggap normal memiliki dampak negatif terhadap lingkungan sosial masyarakat. 

Terkadang kita sulit menyesuaikan bahasa dan pemahaman dengan orang yang mau diberi tau informasi, kuncinya ialah memahami psikologi masyarakat, isu sosial yang berkembang dan pola interaksi sosial. Dengan pendidikan dan pengalaman yang dimiliki saya rasa akan mudah dikembangkan dan dikemas dalam bentuk informasi melalui talk show, podcast, pidato, himbauan, diskusi dal lain-lain.

Sebagai penyelenggara tingkat kecamatan harus diakui bahwa kita memiliki kekurangan dalam bentuk anggaran karena setiap rencana perlu anggaran dalam eksekusinya. Sebagai pelaksana regulasi seharusnya menjadi catatan untuk pembuat regulasi bahwa mencerdasakan pemilih adalah jantung dari demokrasi, dan memerlukan anggaran tersendiri agar dapat dijalankan dengan maksimal, tidak cukup kalau hanya mengandalkan KPU Kabupaten/Kota. 

Kenapa demikian karena kita memilih pemimpin yang tentunya lebih baik dari kompetitor lain dan lebih baik dari pemimpin yang sebelumnya. Esensi dari demokrasi adalah evaluasi kepeminpinan 5 tahun yang lalu dan merancang pemimpin untuk 5 tahun kedepan, tentunya dia yang memahami persoalan bukan dengan kekuatan uang dan memperdaya masyarakat untuk jabatan.

Dalam RAB perlu dijelaskan secara tertulis dan laporan tersendiri mengenai kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih, bagi saya ini sangat penting walaupun sifatnya periodik. Sebagai penyelenggara kita mendapatkan asupan berupa bimtek berkali-kali untuk menyukseskan Pemilu ataupun Pilkada, seharusnya masyarakat mendapatkannya juga dalam bentuk Pendidikan pemilih yang massif dan menyeluruh. 

Supaya kita tidak terkesan menjalankan demokrasi secara institusional, dalam arti tahapan tetap lancar berjalan untuk dampak terhadap suksesi kepemimpinan bukan urusan penyelenggara. Ini menjadi catatan agar kedepannya kita Bersama mempunyai catatan moral dalam bekerja untuk membangun dearah melalui pemimpin yang benar-benar berkualitas melalui pemilihan yang dipertimbangkan secara ‘akal sehat’ kata Rocky Gerung.

Penulis: Rian Laka Ma'u Editor: Redaksi

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan, Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!