Saya tahu persis, sebagai pribadi, Uskup Budi sudah tak nyaman dengan nada-nada eforistik-populistik penuh glorifikasi. Toh, ‘angkat-angkat orang terlalu tinggi tidak kah bisa juga akhirnya kebablasan dalam ‘ciptakan jarak lebar dan jauh’ dari ‘yang pada umumnya?
Dalam arus dan banjir puja-puji, Uskup Budi nampaknya mulai bergulat ‘berenang’ selamatkan diri menuju ke tepian. Iya, ke daratan. Dari situ, ia mulai belajar bergerak dari ‘melihat massa’ ke perlahan-lahan ‘mengalami semuanya sebagai umat KAE dan masyarakat Ngada – Nagekeo – Ende.’
Uskup Budi dengan bijak telah membagi kata hatinya yang amat personal dan afektif. Ia telah hadir di Ndona, di tengah-tengah umat Keuskupan Agung Ende dengan segenap hati dan dengan badannya.
Apakah ini satu isyarat dari Uskup Budi, bahwa ‘jiwa-raganya’ yang sudah melambung dan dilayang-layangkan itu, sederhananya, dapat dijumpai, didekati, didatangi sebagai seorang bapak, sahabat, sebagai saudara (dalam kasih persaudaraan)?
Saya banyak senyum-senyum kecil lihat Uskup Budi lambai-lambaikan tangannya dari mobil di perjalanan menuju Ndona. Tampak kaku dia dengan gerak-gerik tangannya beri berkat. Tapi itulah ungkapan sukacita umat. Sempat tertangkap komen ‘ata Ende, “Kami tu mau sekali misa tahbisan Uskup tu di lapangan terbuka. Tapi uskup maunya di Katedral. Makanya, yang gaya penyambutan begini ni itu yang kami ator sudah.’
Akhirnya…
Iya, Uskup Budi, setidaknya telah ‘melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi’ umat dan masyarakat Ngada – Nagekeo – Ende. Bagaimana pun kiat-kiat jalan landing bakal segera ditata bersama. Kiranya dalam alam kasih persaudaraan, tetaplah pohon iman dalam Kristus itulah yang semakin berakar dan tumbuh…
Proficiat Umat Keuskupan Agung Ende.