News  

Konflik Tanah Nangahale dan Patiahu: Kesaksian P. Yosef Kusi, SVD

FloresUpdate.com, Maumere – Konflik berkepanjangan terkait tanah Nangahale dan Patiahu terus menjadi sorotan. P. Yosef Kusi, SVD, mantan ekonom Seminari Tinggi Ledalero selama delapan tahun, memberikan kesaksian mendalam terkait persoalan ini berdasarkan dokumen resmi dan pengalamannya langsung dalam berbagai dialog serta upaya mediasi.

Menurut P. Yosef, tanah yang dikelola oleh PT Krisrama di mana Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero menjadi bagian memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini dibuktikan dengan sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). PT Krisrama telah memenuhi kewajiban, termasuk pembayaran pajak tahunan yang tidak sedikit. Namun, konflik muncul akibat klaim sepihak dan penyerobotan lahan oleh sejumlah masyarakat.

“Pada tanggal 22 Agustus 2014, dialog telah dilakukan antara Bupati Sikka, PT Krisrama, dan masyarakat adat Tana Ai di Aula Setda Sikka. Namun, setelah kesepakatan tercapai, masyarakat tetap melakukan penyerobotan,” ungkap P. Yosef.

Kerugian Besar dan Ancaman Keselamatan

P. Yosef juga mengungkapkan kerugian besar yang dialami Seminari Tinggi Ledalero akibat tindakan penyerobotan ini. Selain kehilangan hasil panen kelapa senilai ratusan juta rupiah per tahun, pohon-pohon kelapa dan kayu besar juga ditebang untuk kepentingan pribadi. Tidak hanya merugikan secara finansial, situasi ini memicu ancaman terhadap keselamatan para pekerja seminari 

“Saya melaporkan pencurian tersebut ke pihak kepolisian, tetapi justru saya menjadi target ancaman pembunuhan. Rumah seminari di Patiahu bahkan dikepung oleh puluhan orang bersenjata tajam. Kami harus dijaga oleh aparat keamanan selama dua bulan,” jelas P. Yosef.

Upaya Penyelesaian dan Sikap Pemerintah

Dalam upaya menyelesaikan konflik, PT Krisrama dan pihak gereja telah mengembalikan sebagian besar lahan kepada pemerintah. Dari total 700 hektar tanah yang dikelola, sekitar 500 hektar telah diserahkan kembali. Seminari Tinggi Ledalero juga mengembalikan 200 hektar dari 300 hektar yang mereka miliki. Pemerintah bersama BPN kemudian merencanakan redistribusi tanah tersebut kepada masyarakat, dengan catatan mereka harus meninggalkan area yang telah bersertifikat untuk pihak gereja dan seminari 

Namun, hingga kini, beberapa kelompok masyarakat tetap bertahan di lahan tersebut dan menolak mematuhi keputusan pemerintah, padahal pemerintah sudah punya plening untuk mendistribusikan lahan-lahan yang kosong untuk masyarakat dengan membangun fasilitas-fasilitas umum lainnya 

Pertanyaan Tentang Kemanusiaan dan Keadilan P. Yosef menegaskan, pihaknya selalu mengedepankan cinta kasih dan dialog dalam menghadapi situasi ini. Namun, ia mempertanyakan narasi yang menyebut pihak gereja sebagai pelanggar HAM.

“Jika mengikuti aturan hukum dan keputusan pemerintah, masyarakat seharusnya sudah memiliki tanah dengan sertifikat. Namun, mereka justru menentang. Siapa sebenarnya yang dirugikan? Kami membayar pajak, tetapi tidak bisa mengelola tanah sendiri. Kami yang menjadi korban kekerasan, tetapi dituding tidak berperikemanusiaan,” ungkapnya.

Ia juga meminta pihak-pihak yang tidak memiliki informasi akurat untuk tidak menyebarkan berita tidak benar yang justru memperkeruh situasi,usaha yang kami kelola bukan untuk kepentingan pribadi kami,tapi bagimana kami harus menghidupkan dua seminari besar yang ada  Ritapiret dan Ledalero

Harapan Akan Penyelesaian Kesaksian P. Yosef ini memberikan gambaran jelas tentang kompleksitas persoalan tanah Nangahale dan Patiahu. Ia berharap semua pihak dapat bekerja sama untuk menyelesaikan konflik ini secara adil, sesuai dengan hukum dan keputusan pemerintah.

“Semoga cinta kasih dan kebenaran menjadi pedoman kita semua dalam menyelesaikan persoalan ini,” tutupnya. (Albert Cakramento)

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan, Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!