Floresupdate.com, Opini – Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang menghadapi krisis serius: kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur bukan lagi kasus langka, melainkan fenomena yang mengakar. Data terbaru menunjukkan bahwa 75 persen dari 3.052 narapidana di seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di NTT dipenjara karena kasus kekerasan seksual. Mirisnya, pelaku berasal dari berbagai latar belakang usia dan profesi mulai dari anak SMP hingga perwira polisi. (Sumber: Kompas.id).
Salah satu kasus yang mengguncang publik adalah dugaan pencabulan terhadap tiga anak oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman. Ia diduga tidak hanya mencabuli, tetapi juga merekam aksi bejatnya dan menyebarkannya di situs porno luar negeri. Profesi yang diharapkan oleh masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta dapat melindungi mereka dari tindakan kriminal, malah menjadi pelaku yang merusak moral generasi bangsa.
Kasus lain yang memilukan terjadi di Sikka, di mana seorang remaja putri nekat membakar diri setelah diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang anggota polisi. (sumber: Floresupdate.com)
Di Kupang, seorang guru seni berinisial JP alias Endhi ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus kekerasan seksual terhadap tiga remaja laki-laki. Aksi tersebut berlangsung sejak 2021 hingga 2024, dan salah satu pelaku lainnya bahkan menggunakan rekaman sebagai alat ancaman (Sumber: Tribrata News). Lagi dan lagi sosok yang sangat diharapkan menjadi pilar ilmu pengetahuan, membentuk masa depan anak-anak malah menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Terbaru, siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berusia 17 Tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual anggota satuan lalu lintas (Satlantas) Kepolisian Resor Kota Kupang. (Sumber: Tempo.co)
Fenomena ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah cermin dari kerusakan moral dan krisis perlindungan anak yang nyata. Budaya diam, rasa malu, dan ketakutan sering kali membuat korban enggan melapor. Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, korban malah disalahkan.
Sudah saatnya kita berhenti menutup mata. Pendidikan seksual berbasis usia harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, terlebih khusus orang tua memiliki peran utama dalam menanamkan nilai moral, agama dan sosial terhadap anak. Anak-anakpun perlu dibekali pemahaman tentang tubuh mereka, hak atas privasi, dan keberanian untuk melapor jika merasa tidak nyaman. Untuk itu, sinergi antar keluarga, sekolah hingga ke lingkungan masyarakat sangat penting untuk mendukung Pendidikan anak secara menyeluruh.
Penegakan hukum juga harus tegas dan tanpa kompromi. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya melakukan kejahatan individu, tetapi juga kejahatan sosial yang dampaknya luas. Hukuman yang setimpal serta rehabilitasi bagi korban harus berjalan beriringan.
Kembali lagi ke lingkungan masyarakat sangat penting dan krusial. Kita harus berhenti menormalisasi sikap acuh. Jangan menunggu sampai tragedi menimpa keluarga kita sendiri untuk mulai peduli. Laporkan, bantu, dan jangan diam ketika ada dugaan kekerasan seksual. Setiap suara kita bisa menjadi perisai bagi anak-anak yang selama ini dibungkam.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang harus dilawan dengan suara keras dan tindakan nyata. Anak-anak bukan objek pelampiasan hasrat atau kekuasaan. Mereka adalah manusia utuh yang berhak tumbuh dalam rasa aman, dihormati, dan dicintai. Dan kita, orang dewasa, punya tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan itu terwujud.