(Alasan Pembenar Di Balik Dugaan Penganiayaan Murid Oleh Guru)
PEMBUKA :
25 November merupakan salah satu tanggal istimewa di Indonesia. Setiap tanggal 25 November, dirayakan Hari Guru Nasional. Keberadaan guru jelas merupakan kemutlakan dalam dunia pendidikan. Karena itu, perlu dirayakan profesi dan pribadi di balik pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.
Mengingat bagi orang muda misalnya, guru menjadi suluh penerang menuju masa depan yang cerah. Apalagi jika tanpa guru, pasti yang ada hanya generasi muda yang bodoh dan tak terdidik.
Di tahun 2024 ini, salah satu tantangan bagi para guru adalah adanya kriminalisasi terhadap para guru. Fakta guru terkena jerat sanksi pidana menjadi hal yang lumrah. Tentu ini merupakan hal yang menarik. Mengingat guru-guru dapat dipenjara karena lagi menjalankan tugas mereka sebagai pendidik.
Contoh nyata adalah kasus Guru Supriyani di SD Negeri 4 Baito. Guru Supriyani didakwa di PN Andoolo Konawe Selatan, karena dugaan penganiyaan terhadap salah satu siswanya. Dalam kasus demikian, pepatah yang berbunyi “di ujung rotan ada emas”, kini bisa menjadi di ujung rotan terbuka pintu penjara. Tulisan ini dibuat guna melihat adanya alasan pembenar menurut hukum (pidana) di Indonesia, yang harus dipakai dalam penyelesaian kasus dugaan penganiyaan murid oleh gurunya.
ALASAN PEMBENAR MENGHILANGKAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM DUGAAN PENGANIAYAAN GURU TERHADAP MURIDNYA :
Di dalam Hukum Pidana dikenal adanya Alasan Pembenar. Alasan pembenar ini, jika ada, dapat menghapuskan tuntutan pidana terhadap pelakunya. Karena berdasar Alasan Pembenar, sifat melawan hukum dari suatu perbuatan dihilangkan, dan menjadi tidak ada. Disini, seseorang hanya dapat dikenai dan diminta pertanggung jawaban pidana, jika memenuhi 2 (dua) unsur tindak pidana berikut, yakni unsur actus reus dan unsur mens rea. Actus reus sebagai unsur luar atau eksternal berupa perbuatan, sedangkan mens rea sebagai unsur mental pembuat, yang oleh Sudarto dipandang sebagai keadaan psikis dari pelaku tindak pidana; kedaan psikis pelaku saat melakukan tindakan pidana yang dapat membuat seseorang dikenakan sanksi pidana.
Dalam kasus pidana penganiyaan misalnya. Ketika seseorang diduga melakukan penganiayaan, maka yang harus dikejar adalah apakah dia benar-benar pelaku yang berbuat hal itu ? lalu dilihat pula, apakah terdapat niat jahat di balik penganiayaan tersebut ? Hal mana, kesemuanya akan didasarkan pada unsur-unsur dari Pasal 351 KUHP yang mengatur dugaan pidana penganiayaan, berupa sengaja menyebabkan perasaan tidak enak/penderitaan; menyebabkan rasa sakit; menyebabkan luka.
Lebih jauh dari itu, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah, dan kepadanya dimintakan pertanggung jawaban menurut hukum pidana, maka harus memenuhi 3 (tiga) syarat berikut ini : Pertama, Kemampuan bertangung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan perbuatan oleh si pelaku; Kedua, adanya perbuatan melawan hukum yang merupakan kondisi psikis si pelaku, baik itu berupa kesengajaan, kealpaan maupun pembiaran; Ketiga, tidak adanya Alasan Pemaaf atau Alasan Pembenar yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana oleh pelaku.
Alasan Pembenar, jika ada, justru menghilangkan atau menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana. Meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur delik sebagai pasal yang dipakai untuk menjerat si pelaku. Meskipun ada actus reus yakni adanya unsur perbuatan (pidana), namun mens rea tidak terpenuhi, karena adanya Alasan Pembenar. Jadi, ketika tidak ada perbuatan melawan hukum (pidana), maka tidak ada pula pemidanaan. Seperti bunyi asas hukum “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Di dalam KUHP Indonesia, Alasan Pembenar dapat dilihat pada 4 (empat) pasal berikut : Pasal 48 KUHP; Pasal 49 ayat (1) KUHP; Pasal 50 KUHP; dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Pasal 48 KUHP menyatakan dan mensyaratkan adanya keadaan darurat untuk menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan pelaku. Pasal 49 ayat (1) KUHP menyatakan dan mensyaratkan adanya pembelaan terpaksa untuk menghapuskan sifat melawan hukum. Pasal 50 KUHP menyatakan dan mensyaratkan adanya penjalanan peraturan perundang-undangan untuk menghapus sifat melawan hukum. Pasal 51 ayat (1) KUHP menyatakan dan mensyaratkan adanya penjalanan perintah jabatan agar sifat melawan hukum dapat dihapuskan.
Dalam kasus dugaan penganiyaan oleh guru terhadap muridnya, Pasal 51 ayat (1) KUHP dapat menjadi terobosan hukum, dan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian kasus tersebut. Artinya, penyelesaian ini dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan tidak hanya oleh diskresi pejabat tertentu saja. Sepanjang perbuatan guru tersebut adalah untuk menjalankan perintah jabatannya sebagai guru dengan roh pendidik, dia tidak dapat dipidana. Termasuk dalam kasus remeh temeh, seperti dugaan memukul, mencubit, dan sebagainya. Perbuatan perbuatan tersebut harus dilihat dalam kaca mata pendidikan, yakni terkait disiplin. Hal ini penting mengingat kata disiplin berasal dari bahasa Inggris “discipline” yang akar katanya dari bahasa latin “discipulus: yang berarti murid. Sederhananya, jati diri seorang murid terletak pada kedisiplinan. Tanpa disiplin, tak ada murid yang berhasil. Disitulah peran dan tanggung jawab guru untuk mendisiplikan muridnya, demi keberhasilan mereka.
PENUTUP :
Pisau pidana tidak cocok ditikam pada diri para guru. Termasuk ketika para guru diduga melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap muridnya. Guru di seluruh Indonesia harus diberikan perlindungan hukum yang maksimal, terkait pelaksanaan fungsi jabatan mereka sebagau pendidik. Atau, bahkan jika harus menjalani proses litigasi peradilan sekalipun, masih terdapat skema penyelesaian Restorative Justice, demi penyelesaian “win-win solution”. Guru, tempatnya di depan kelas, untuk mengajar para anak bangsa, dan bukannya di dalam penjara. Kado istimewa hari ini diperoleh Guru Supriyani. Dia divonis bebas oleh majelis hakim PN Andoolo Konawe Selatan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana penganiyaan terhadap salah satu muridnya. Selamat Hari Guru Nasional.
Profociat bagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.