Opini  

Kekosongan di Jantung Birokrasi: Membaca Dampak Pengunduran Diri Sekda Ende terhadap Stabilitas Administrasi Pemerintahan Daerah

Oleh: Patricius Marianus Botha, S.Fil.,M.Si

Dosen Pembangunan Sosial STPM Santa Ursula

Di balik hiruk pikuk birokrasi yang kerap dianggap dingin dan teknokratik, ada denyut yang menggerakkan seluruh sistem pemerintahan daerah. Denyut itu berada di meja seorang Sekretaris Daerah—seorang birokrat karier yang mengendalikan ritme administrasi, menyulam benang koordinasi, dan menjaga arah gerak pemerintahan agar sejalan dengan amanah rakyat yang dititipkan melalui kepala daerah. Maka ketika seorang Sekda memutuskan mundur dari jabatannya, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Ende, peristiwa itu bukan sekadar berita rotasi jabatan, melainkan gejala dari sebuah ketidakseimbangan yang dalam, dengan potensi dampak sistemik terhadap wajah pelayanan publik dan keberlanjutan pembangunan daerah.

Pengunduran diri Sekda adalah peristiwa yang harus dibaca dalam kerangka yang lebih luas daripada sekadar ‘hak individu’ atau ‘prosedur kepegawaian.’ Ini adalah peristiwa politik, sosial, dan administratif sekaligus. Ia menyimpan sinyal-sinyal penting tentang bagaimana ekosistem birokrasi bekerja—atau tidak bekerja—di balik layar. Dalam konteks Kabupaten Ende, di mana tantangan pembangunan begitu kompleks, mulai dari infrastruktur yang tertinggal, angka kemiskinan yang tinggi, hingga disparitas antarwilayah yang belum tertangani tuntas, kehilangan seorang Sekda bisa berarti kekosongan dalam fungsi koordinatif yang selama ini menjadi penyangga utama sistem pemerintahan.

Sekda bukan hanya kepala sekretariat daerah. Ia adalah figur sentral yang menjembatani kepemimpinan politik kepala daerah dengan operasionalisasi kebijakan oleh para kepala dinas dan perangkat kerja lainnya. Ia adalah ruang tengah yang harus netral, profesional, namun juga cakap membaca arah angin politik, karena tak sedikit kebijakan daerah yang bergulir bukan semata karena urgensi publik, melainkan juga pertimbangan kekuasaan. Dalam posisi seperti ini, Sekda ibarat pelatih kepala dalam sebuah tim sepak bola: ia mungkin tidak mencetak gol, tetapi tanpa arahnya, strategi permainan tak akan berjalan.

Ketika Sekda mengundurkan diri, muncul berbagai pertanyaan yang seharusnya menjadi refleksi publik. Apakah pengunduran diri itu dilakukan karena alasan personal, seperti kesehatan atau usia? Ataukah ada tekanan politik, konflik kepentingan, atau disharmoni relasi antara Sekda dan kepala daerah? Transparansi menjadi sangat penting dalam situasi ini, karena publik berhak tahu apakah roda pemerintahan daerah mereka berjalan di atas landasan yang sehat atau justru sedang dilanda turbulensi internal yang disembunyikan. Jika pengunduran diri ini adalah puncak dari akumulasi ketegangan di ruang birokrasi, maka Ende sedang menghadapi masalah yang jauh lebih besar daripada sekadar mencari pengganti.

Ketidakhadiran Sekda definitif akan membuka ruang ketidakpastian. Pemerintah memang bisa menunjuk pelaksana tugas (Plt), tetapi harus diakui, Plt selalu berada dalam posisi yang serba terbatas. Ia tak memiliki otoritas penuh, seringkali tidak cukup kuat untuk membuat keputusan strategis, dan terjebak dalam kepentingan menjaga status quo tanpa inovasi berarti. Birokrasi membutuhkan kepastian komando, dan dalam absennya seorang pemegang otoritas definitif, seringkali keputusan-keputusan penting tertunda, bahkan diabaikan. Akibatnya, program-program kerja mengalami perlambatan, evaluasi terhambat, dan anggaran publik—yang seharusnya segera diserap demi kepentingan rakyat—justru mangkrak menunggu tanda tangan yang tak kunjung ada.

Dalam sistem birokrasi Indonesia yang masih bersifat hierarkis dan patrimonial, keberadaan Sekda bukan hanya administratif, tetapi juga simbol legitimasi. Kepala dinas, camat, hingga lurah memandang Sekda sebagai pintu koordinasi dan validasi. Maka ketika figur ini hilang dari sistem, kepercayaan internal bisa tergerus. ASN menjadi gamang. Mereka tak tahu kepada siapa harus berkoordinasi secara strategis. Mereka menjadi ragu dalam bertindak, karena takut melangkah terlalu jauh tanpa jaminan dukungan dari pucuk pimpinan. Ketegangan kecil bisa menjalar menjadi stagnasi yang luas, dan dalam waktu singkat, kinerja seluruh OPD bisa merosot drastis.

Hal yang lebih berbahaya adalah munculnya fragmentasi birokrasi. Dalam kekosongan jabatan Sekda, tak jarang muncul faksi-faksi internal ASN yang mulai berebut pengaruh, saling menjatuhkan, bahkan mencoba mendekat ke kekuasaan untuk memperoleh legitimasi. Kultur birokrasi yang mestinya profesional dan netral, justru tergelincir ke dalam politisasi jabatan yang berbahaya. Jabatan Sekda yang seharusnya diisi oleh figur dengan kapasitas teknokratik, berpotensi direbut oleh mereka yang lebih lihai memainkan strategi politik daripada mereka yang memahami substansi pembangunan daerah.

Pengunduran diri Sekda juga menjadi indikator tentang hubungan antara birokrasi dan politik lokal. Jika pengunduran diri ini berkaitan dengan tekanan kepala daerah atau konflik kepentingan dalam penentuan proyek-proyek strategis, maka publik perlu membuka mata lebih lebar. Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang memiliki ekosistem dialog antara kepala daerah dan jajarannya, bukan pemerintahan yang menekan, mendikte, dan menjadikan birokrasi sebagai instrumen loyalitas buta. Jika Sekda merasa tak mampu lagi menjalankan tugas karena intervensi yang terlalu jauh, maka ini adalah pertanda bahwa prinsip-prinsip good governance telah dilanggar, dan peringatan keras bagi sistem demokrasi lokal di Ende.

Namun, di sisi lain, pengunduran diri Sekda bisa juga menjadi momen pembuka untuk perbaikan. Ini bisa menjadi titik balik untuk mereformasi birokrasi yang selama ini mungkin berjalan tanpa arah. Kepala daerah memiliki kesempatan untuk menempatkan figur baru yang lebih progresif, inovatif, dan berani membawa perubahan. Tetapi sekali lagi, proses ini harus dilakukan secara transparan dan berdasarkan prinsip meritokrasi. Jika proses penggantian hanya menjadi ajang bagi kepentingan politik atau balas budi, maka Ende tidak sedang memperbaiki birokrasi, melainkan menguburnya lebih dalam dalam pusaran kepentingan sempit.

Rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus mengambil peran dalam mengawasi proses ini. Lembaga legislatif, media massa, LSM, dan tokoh masyarakat harus mendorong pemerintah untuk membuka komunikasi mengenai alasan pengunduran diri ini, rencana penggantiannya, dan bagaimana transisi ini tidak merugikan pelayanan publik. Karena pada akhirnya, birokrasi adalah instrumen untuk rakyat. Jika kekosongan jabatan menyebabkan keterlambatan pencairan dana bantuan, keterbatasan pelayanan kesehatan, atau terganggunya pengurusan administrasi kependudukan, maka mereka yang paling terdampak adalah warga kecil di desa-desa pelosok yang tidak tahu menahu tentang intrik kekuasaan di ruang rapat kabupaten.

Situasi ini harus dijadikan cermin oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Kementerian Dalam Negeri, melalui Inspektorat Jenderal atau Dirjen Otonomi Daerah, semestinya turun tangan meninjau dinamika di Ende. Pemerintahan daerah tidak boleh dibiarkan larut dalam konflik internal tanpa arah penyelesaian yang jelas. Dalam era otonomi daerah, keseimbangan antara kebebasan mengelola daerah dan kontrol terhadap tata kelola pemerintahan harus dijaga secara proporsional. Pemerintah pusat bertanggung jawab memastikan bahwa sistem berjalan sesuai dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.

Lebih jauh, publik harus mendorong lahirnya budaya birokrasi yang sehat. Sekda, dan semua pejabat struktural lainnya, harus merasa aman dalam menjalankan tugasnya. Mereka harus bebas dari tekanan politik, tetapi juga dituntut untuk bekerja dengan integritas dan profesionalisme tinggi. Pengunduran diri tidak boleh menjadi satu-satunya jalan keluar saat menghadapi tekanan atau konflik. Harus ada mekanisme mediasi, saluran pengaduan, dan ruang dialog yang memungkinkan penyelesaian masalah secara bermartabat dan solutif.

Kita semua harus bertanya: bagaimana kita menciptakan iklim pemerintahan yang tidak hanya menjamin stabilitas jabatan, tetapi juga keberlanjutan kebijakan dan pelayanan publik? Jika setiap ketegangan politik berujung pada pengunduran diri pejabat strategis, maka kita sedang menciptakan pola yang rapuh dan destruktif. Pemerintahan bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu digunakan secara arif demi kepentingan masyarakat.

Dalam konteks Ende, momentum ini harus dijadikan waktu untuk mengevaluasi, menata ulang, dan memulai perjalanan baru dengan semangat profesionalisme yang lebih kuat. Bukan dengan menutup-nutupi alasan pengunduran diri, bukan dengan saling menyalahkan, melainkan dengan membangun sistem yang memungkinkan pejabat birokrasi bekerja dalam ruang yang sehat, terukur, dan dilindungi dari kepentingan-kepentingan sesaat.

Karena pada akhirnya, jabatan bisa berganti, tapi nasib rakyat tidak boleh menjadi korban dari kekosongan kepemimpinan birokrasi. Ende butuh stabilitas. Ende butuh arah. Dan Ende butuh figur pemimpin birokrasi yang tidak hanya mampu menandatangani dokumen, tetapi juga mampu menjaga detak jantung pemerintahan agar tetap berdetak bagi seluruh rakyatnya.

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan, Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!