FloresUpdate.com, Opini – Seusai Pileg dan Pilpres, hajatan pemilu di Indonesia di tahun 2024 mengarah kepada pilkada (pemilihan kepala daerah). Salah satu daerah yang memiliki gawean tersebut adalah Kabupaten Ende. Masyarakat Kabupaten Ende, pada Rabu, 27 November 2024, akan pergi ke bilik suara, guna mencoblos pasangan kepala daerah dan wakilnya, sebagai bupati dan wakil bupati Kabupaten Ende, lima tahun ke depan.
Kabupaten Ende, paska rezim pemilihan umum langsung memang memiliki jejak yang khas. Di tahun 2009, pemenang pilkada adalah pasangan Drs. Don Bosko M. Wangge, M.Si dan Drs. Ahmad Mochdar. Keduanya memimpin Kabupaten Ende hingga tahun 2014. Di Pilkada 2014, pemenangnya adalah Ir. Marselinus Y.W.Petu yang berpasangan dengan Drs. Djafar H. Achmad, M.M.
Keduanya mengulang sukses di tahun 2019, dengan kembali memenangkan Pilkada 2019 tersebut. Dari konfigurasi pasangan di atas, jelas terlihat bahwa aspek agama “turut bermain” dalam penentuan paket sekaligus kemenangan paket bupati dan wakil bupati Kabupaten Ende. Disini, bupati kabupaten Ende adalah dia yang beragama Katolik, dengan wakilnya dipilih dari yang beragama Islam, yang dikenal dengan “Paket K-I”. Konfigurasi ini dianggap mencerminkan realitas kehidupan masyarakat Kabupaten Ende, tempat lahirnya Pancasila, sekaligus mampu mendulang suara pemilih di Kabupaten Ende.
Menjadi tidak heran, jika dalam pilkada Tahun 2024 ini, isu agama akan kembali memainkan peranannya. Pada kandidat yang maju, sebut saja, Yustinus Sani, Stefanus Tani Temu, Dr. Laurentius Gadi Djou, S.E., Drs. Don Bosko M. Wangge, M.Si, Servas Mario Idlefonsus Pati, Drs. Djafar H. Achmad, M.M, akan berhadapan dengan realitas politik identitas berdasar agama ini, dan tentunya akan memainkan politik identitas, demi kepentingan elektoral mereka.
REALITAS POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA
Abdillah, dalam bukunya yang berjudul Politik Identitas Etnis (2002) mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.
Selanjutnya, Cressida Heyes, dalam buku Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007) mengartikan politik identitas sebagai suatu jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan tertentu. Dari situ, dapat terlihat bahwa politik identitas ternyata melekat dan digunakan oleh kelompok-kelompok berkategori etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya demi mencapai tujuan tertentu.
Disini, penggunaan politik identitas tersebut merupakan bentuk perlawanan sekaligus ajang penunjukan jati diri kelompok tersebut. Misalnya, politik identitas dari suku-suku di Brasil guna melawan deforestisasi (penggundulan) Hutan Amazon. Di Indonesia, Kasus Wadas di Jawa Tengah dapat menjadi contoh penggunaan politik identitas, namun dengan tidak berkategori agama.
Dengan demikian politik identitas merupakan suatu aktivitas ataupun gerakan sosial-politik oleh sekelompok orang (masyarakat) berdasarkan identitas tertentu yang mereka miliki, untuk memperjuangkan dan memperoleh pengakuan lebih luas dari publik atau negara terhadap tujuan yang diharapkan.