Oleh: Yulius Riba, 1 Februari 2025
Dalam diskursus akademik, setiap argumentasi seharusnya berbasis pada konsistensi logis, validitas bukti, dan kejernihan sikap dari bias kepentingan.
Dalam banyak contoh, sebuah pemikiran yang sekilas tampak meyakinkan justru menyimpan paradoks yang meniadakan dirinya sendiri – self-defeating argument.
Ketika Pater Hubert Thomas, SVD, berbicara mengenai kepemilikan lahan di Nangahale dan Patihau dalam sebuah seminar nasional di ITFK Ledalero, kita tidak hanya dihadapkan pada sekadar pernyataan, tetapi juga pada klaim yang harus diuji secara kritis.
Dalam lanskap akademik dan intelektual, setiap argumen harus tetap terbuka untuk diuji, dianalisis, dan debat.
Mungkin atas dasar inilah, ketiak memosting cuplikan video Pater Huber Thomas yang lagi menyampaikan persoalan tanah HGU di Nangahale dan Patihau, kae Anton Tonggo meminta agar video itu dibantah atau didebat.
“Tolong Bantah Pater Hubert Thomas, SVD:”Soal Kepemilikan Nangahale”, bagi yang punya data & analisa berbeda, tolong bantah P. Hubert Thomas, SVD Ini… Beliau berbicara di Seminar Nasional di ITFK Ledalero.” (Anton Tonggo).
Bagi saya, ini adalah tantangan membangunkannya birahi intelektual untuk menelisik apakah argumentasi Pater Hubert Thomas, SVD, bertahan dalam uji logika dan fakta, atau justru secara implisit meniadakan dirinya sendiri.
Kita mulai dengan membedah argumen beliau dan menguji apakah logikanya dapat bertahan dari kritik logis dan empiris.
Dari pemaparan yang ada, tampaknya Pater Hubert ingin meyakinkan publik bahwa lahan tersebut seharusnya dikembalikan kepada suku Soge dan suku Goban.
Alasannya? Karena kedua suku inilah yang menghuni lahan tersebut ketika terjadi peralihan kepemilikan dari masyarakat lokal ke pemerintah Hindia Belanda, lalu ke perusahaan Belanda, kemudian dijual kepada Vikariat Apostolik Ende, hingga akhirnya diambil alih oleh negara berdasar UUPA 1960.
Dengan kata lain: “Karena tanah ini pernah dihuni oleh suku Soge dan Goban sebelum diambil alih oleh pemerintah kolonial dan pihak-pihak lain, maka tanah ini harus dikembalikan kepada mereka”.
Sekilas, argumen ini tampak masuk akal. Namun, jika kita telaah lebih dalam, justru argumen Pater Hubert sangat rapuh.
Kerapuhan argumen Pater Hubert justru akibat kontradiksi logis yang dibangun dalam premis-premisnya sendiri.
Tidak percaya? Mari kita ikuti alur logikanya:
1, Pengakuan bahwa suku Soge dan Goban adalah pendatangDalam pemaparannya, Pater Huber sendiri mengakui bahwa suku Soge dan Goban bukanlah penghuni asli wilayah tersebut.
Artinya, sebelum mereka datang, ada suku asli Sikka – yang sudah lebih dulu menempati tanah Nangahale dan Patihau.
2, Menggunakan prinsip “kepemilikan historis” untuk mendukung klaim suku Soge dan Goban.
Argumen ini menyatakan bahwa karena suku Soge dan Goban pernah menguasai tanah itu sebelum Belanda, mereka berhak atas kepemilikan tanah tersebut saat ini.
3. Konsekuensi logis dari prinsip yang digunakan:
a. Jika tanah bisa diklaim berdasarkan penguasaan historis, maka suku Soge dan Goban tidak bisa mengklaim tanah Nangahale dan Patihau karena ada pihak yang lebih dulu menguasainya sebelum mereka datang menetap di situ.
b.Jika kepemilikan bisa berpindah berdasarkan penguasaan oleh pihak baru, maka tidak ada alasan untuk menolak kepemilikan negara atau pihak lain yang sah secara hukum.
c. Dengan kata lain, logika yang digunakan untuk membela klaim suku Soge dan Goban justru meniadakan atau menggugurkan klaim Pater Hubert sendiri.
Argumen yang diajukan oleh Pater Huber bukan hanya cacat secara logis, tetapi juga berbahaya karena mengabaikan sistem hukum yang berlaku.
Jika kita menerima logika ini, maka bukan hanya suku Soge dan Goban yang kehilangan dasar klaimnya, tetapi juga setiap individu dan kelompok masyarakat dapat kehilangan hak atas tanah mereka hanya karena klaim sejarah yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Jadi, jika kita benar-benar ingin membela hak atas tanah, kita tidak bisa hanya mengandalkan klaim historis tanpa mempertimbangkan fakta hukum.
Jika argumen ini diterapkan, maka ia tidak hanya gagal membela suku Soge dan Goban, tetapi justru membatalkan klaim mereka sendiri.
Inilah yang disebut sebagai self-defeating argument – sebuah argumen yang hancur oleh prinsip yang digunakannya sendiri.
Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan tanggung jawab redaksi FloresUpsadate.com apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.