Wacana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, Ini Tanggapan Dosen STPM Ende

Agustinus Samgar Friday Fry, S.S., MPA, Dosen STPM Ende.

FloresUpdate.com, Ende– Perdebatan mengenai model pemilihan kepala daerah yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto kembali mencuat ke permukaan. Dalam usulannya, Presiden Prabowo mengusulkan agar pemilihan eksekutif, baik di tingkat daerah maupun nasional, dilakukan melalui pemufakatan oleh wakil rakyat di DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat.

Hal ini, menurutnya, bertujuan untuk mengurangi beban anggaran yang selama ini besar akibat penyelenggaraan pemilu langsung.

Namun, di balik usulan tersebut, ada berbagai pandangan yang mencuat, salah satunya dari Agustinus Samgar Friday Fry, S.S., MPA, seorang dosen di STPM Ende.

Menurutnya, usulan tersebut perlu dipahami tidak hanya dari sisi efisiensi anggaran, tetapi juga dari perspektif demokrasi dan hak politik rakyat.

Agustinus Samgar, dalam pandangannya, menilai keputusan pemilihan kepala daerah yang langsung oleh rakyat selama ini sering kali lebih mengutamakan pertimbangan biaya (cost) ketimbang manfaatnya (benefit) dari sisi ekonomi.

“Dalam banyak kebijakan pemerintahan kita, dasar pengambilan keputusan memang cenderung didasarkan pada analisis cost and benefit. Jika dilihat dari sisi ini, sistem pemilihan langsung oleh rakyat memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit,” ujar Samgar.

Di satu sisi, Samgar mengakui, usulan Presiden Prabowo untuk mengubah model pemilihan eksekutif (kepala daerah dan presiden) melalui pemufakatan wakil rakyat di DPRD bisa lebih efisien dari segi anggaran negara. Pasalnya, biaya yang diperlukan untuk pemilu langsung, baik dari segi logistik maupun kampanye, selalu memakan biaya yang sangat besar.

“Banyak program-program inovatif yang dijanjikan oleh pemerintah, yang memerlukan dana besar. Sementara itu, biaya pemilu yang terus meningkat bisa menjadi beban negara yang tidak ringan,” tambahnya.

Dari sisi ideologi negara, Samgar berpendapat, model pemilihan melalui DPRD ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi Indonesia.

“Sila ke-IV Pancasila menyebutkan bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Artinya, dalam sistem demokrasi kita, keputusan politik, termasuk memilih pemimpin, dapat diwakilkan oleh wakil rakyat yang terpilih,” ujar Samgar.

Dia juga menggarisbawahi esensi dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, meskipun ada kekhawatiran terkait hilangnya hak langsung rakyat untuk memilih pemimpin, dia menilai model pemilihan ini masih sesuai dengan semangat permusyawaratan dalam perwakilan yang terdapat dalam Pancasila.

Namun, meskipun model pemilihan melalui DPRD dapat dipahami dari sudut pandang efisiensi anggaran, Samgar juga mengingatkan hal ini berpotensi bertentangan dengan asas dasar demokrasi.

Prinsip demokrasi yang sebenarnya, menurutnya, adalah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, yang mengutamakan hak rakyat untuk menentukan langsung pemimpin mereka.

“Pemilihan langsung oleh rakyat memiliki makna penting, yaitu memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili aspirasi dan harapan rakyat. Tanpa adanya keterlibatan langsung rakyat, kita bisa kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri,” ujar Samgar.

Dia juga menambahkan, dalam sistem politik praktis, banyak wakil rakyat yang cenderung lebih loyal pada partai politiknya daripada pada rakyat yang memilih mereka. Hal ini, menurutnya, bisa memicu ketidakpercayaan rakyat terhadap proses pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.

“Pemilihan melalui perwakilan oleh DPRD berpotensi untuk lebih mengutamakan kepentingan partai politik, bukan kepentingan rakyat,” kata Samgar.

Dari perspektif hak politik, Samgar juga mengingatkan, pemilihan eksekutif melalui DPRD dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak politik rakyat untuk memilih.

“Pemilu adalah hak dasar setiap warga negara, yang dilindungi oleh undang-undang. Mengalihkan hak ini kepada wakil rakyat berarti merampas hak politik rakyat untuk menentukan pemimpinnya,” ujarnya dengan tegas.

Kekhawatiran ini semakin besar mengingat potensi penyalahgunaan kekuasaan dan politik yang bisa terjadi dalam proses pemilihan yang lebih tertutup. “Ketika proses pemilihan tidak transparan dan tidak melibatkan rakyat secara langsung, akan sulit untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kehendak rakyat,” jelasnya.

Agustinus Samgar menyimpulkan bahwa meskipun alasan efisiensi anggaran yang diusulkan Presiden Prabowo dalam pemilihan eksekutif melalui DPRD bisa dipahami, namun perubahan tersebut harus dievaluasi kembali dari perspektif demokrasi yang sesungguhnya.

Sementara efisiensi anggaran sangat penting, hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung adalah nilai yang tidak boleh diabaikan dalam sistem demokrasi Indonesia.

“Pemilihan langsung adalah bentuk hak politik yang fundamental, dan harus dijaga agar tidak tergerus oleh pertimbangan-pertimbangan efisiensi anggaran semata,” tegas Samgar.

Dengan demikian, meskipun ada usulan untuk merubah sistem pemilihan eksekutif melalui DPRD demi efisiensi, masyarakat Indonesia harus tetap memperjuangkan prinsip demokrasi yang mengutamakan hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung. (***)

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan, Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!