Floresupdate.com, Ende – Penolakan terhadap proyek geotermal di Kabupaten Ende tidak bisa hanya berdasarkan opini atau tekanan massa, Harus ada dasar hukum yang kuat jika ingin menolak, seperti Undang-Undang Panas Bumi, Undang-Undang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang Desa. Perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia juga harus jadi pertimbangan, tapi tetap dalam koridor hukum.
Hal ini ditegaskan oleh Ir. Rindo Rette Siprianus, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ende dalam rilis tertulis tim media pada Kamis (5/6/2025).
“Penolakan tanpa dasar hukum hanya akan merugikan masyarakat sendiri. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal kepastian hukum dan kepentingan publik.” Katanya
Siprianus mengingatkan bahwa sejak 2017, lewat Keputusan Menteri ESDM No. 2268 K/30/MEM/2017, Pulau Flores ditetapkan sebagai pulau panas bumi, Ini bagian dari strategi nasional untuk menekan laju perubahan iklim, karena 80,9% energi nasional masih bergantung pada fosil.
Energi panas bumi, katanya, bukan sekadar proyek. Ini sumber energi terbarukan, ramah lingkungan, stabil, dan sangat potensial mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta subsidi negara yang mencapai Rp1 triliun per tahun untuk Flores saja.
“Pembangunan geothermal di Desa Sokoria bukan proyek ujug-ujug Itu lahir dari krisis nyata saat Flores kekurangan pasokan listrik hingga 5–7 MW. Saya tahu persis, karena saat itu saya dipanggil langsung oleh Bupati Ende, Ir. Marselinus Y. W. Petu untuk mencari solusi,” ungkapnya.
Kelangkaan listrik saat itu membuat banyak desa, termasuk Detukeli dan Pulau Ende, hidup tanpa penerangan, Bersama PT PLN (Persero) dan Pemerintah Provinsi NTT, Siprianus lalu membawa masalah ini ke Kementerian ESDM di Jakarta. Hasilnya: geothermal jadi solusi alternatif pengganti mesin diesel tua yang boros dan mahal.
Siprianus juga mengungkap sejarah panjang perjuangan geothermal di Sokoria, Sejak kontrak PT Bakri Group berakhir pada Maret 2016, Kementerian ESDM mengaudit kelayakan proyek dari lima aspek utama: modal, tenaga ahli, peralatan, AMDAL, dan kewajiban pajak. PT Bakri sempat nyaris dicoret, tapi akhirnya memenuhi seluruh kewajiban.
Kini, PT Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) yang mengelola proyek tersebut sudah menghasilkan 8 MW listrik dan berkontribusi pada PAD Kabupaten Ende lewat pajak.
Menurut Siprianus, proyek ini dijalankan sesuai prinsip good mining practice dan sudah diaudit secara menyeluruh, termasuk soal AMDAL dan pengelolaan limbah yang dikembalikan ke dalam tanah melalui sistem pipa tertutup.
“Ini bukan proyek ugal-ugalan, Semua terukur dan sah secara hukum dan lingkungan, Lokasi proyek bisa dilihat langsung di pinggir jalan menuju Kampung Kurulimbu,” tegasnya.
Siprianus pun mengajak tokoh agama, masyarakat, dan organisasi untuk tidak terjebak pada narasi sepihak.
“Geothermal ini hasil perjuangan bertahun-tahun, Jangan digagalkan hanya karena misinformasi Jika ada yang tidak puas, silakan diskusi langsung dengan Kementerian ESDM dan Pemprov NTT Mereka punya otoritas dan data,” tandasnya.
Menanggapi aksi unjuk rasa penolakan proyek geothermal yang digelar oleh kelompok pastor, biarawan/biarawati, dan organisasi masyarakat di Kevikepan Ende, Siprianus mengingatkan bahwa niat baik menyelamatkan bumi harus tetap berbasis fakta dan hukum, bukan sentimen.
Ia juga menyoroti adanya rencana lima titik baru pembangunan geothermal di Kabupaten Ende: Kombandaru, Detusoko, Jopu, Ndori, dan Lesugolo.
“Kalau kita tolak semua, siapa yang rugi? Rakyat. Karena listrik tidak akan datang dari langit. Kita tidak bisa terus bergantung pada genset dan diesel selamanya,” tegasnya.
Bagi Siprianus, energi panas bumi bukan ancaman, melainkan peluang. Peluang untuk lepas dari subsidi besar, peluang untuk lingkungan yang lebih bersih, dan peluang untuk masa depan energi Flores yang mandiri.
“Bumi tidak akan rusak oleh teknologi yang benar, Yang merusak adalah ketakutan tanpa dasar dan penolakan tanpa fakta,” tutupnya.