Floresupdate.com, Opini – Baru-baru ini, masyarakat Kota Ende, Nusa Tenggara Timur, diresahkan oleh Keputusan penutupan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) sampah kota yang berlokasi di Kelurahan Tanjung (Rate) Kabuten Ende.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama di kalangan Masyarakat Kota Ende. Akan Kemanakah Sampah dibuang. Adakah Lokasi Baru yang disiapkan dengan manajemen pengelolaan baru. Atau setidaknya kita bertanya kenapa KLHK Kabupaten Ende merespons kondisi TPA dengan Kebijakan Menutup TPA Rate tersebut. Ini bukan sekadar krisis pengelolaan sampah namun saya membaca pristiwa ini dengan sudut pandang tanda nyata dari krisis ekologis dan spiritual.
Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menegaskan bahwa krisis ekologis adalah “panggilan untuk pertobatan mendalam” (LS 217). Pertobatan ekologis bukan hanya soal membuang sampah pada tempatnya, tetapi juga perubahan hati dan cara pandang manusia terhadap alam: dari penguasa menjadi penjaga, dari eksploitatif menjadi penuh kasih.
Fakta di Lapangan
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Ende menyebutkan bahwa produksi sampah mencapai sekitar 40–50 ton per hari. Sebagian besar langsung dibuang ke TPA tanpa pemilahan dan tanpa pengolahan—model open dumping yang mempercepat pencemaran air tanah, udara, dan ekosistem sekitar. Bahkan, volume sampah yang terus meningkat menyebabkan pantai dijadikan lokasi darurat, yang justru mengancam keberlanjutan ekosistem laut.
Dalam Laudato Si’, disebutkan:
“Tanah, air, udara, dan makhluk hidup semuanya adalah anugerah Tuhan yang harus dihargai dan dijaga.” (LS 71)
“Dunia yang miskin dan terlupakan paling menderita akibat kerusakan lingkungan.” (LS 49)
Kutipan ini sangat relevan dengan konteks Ende. Yang paling terdampak dari krisis ini bukanlah mereka yang tinggal jauh dari lokasi pembuangan, melainkan komunitas pesisir, petani, dan nelayan yang hidup bersentuhan langsung dengan alam.
Solusi dari Perspektif Pertobatan Ekologis
1. Reformasi Kebijakan Lingkungan Daerah
Pemerintah perlu menghentikan praktik pembuangan sampah di zona ekosistem kritis seperti pantai. TPA baru harus berbasis teknologi sanitary landfill, bukan open dumping. Sanitary landfill adalah metode pengelolaan sampah modern dan efektif di mana sampah dibuang dan ditumpuk di lokasi cekung, kemudian dipadatkan dan ditimbun dengan tanah. Sistem ini dirancang untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti pencemaran tanah dan air, serta mengurangi risiko penyebaran penyakit. Namun terlebih dahulu mekanisme bank sampah dari hulu ke hilir perlu diperketat pengelolaannya.
2. Pendidikan dan Kesadaran Komunal
Komunitas perlu digerakkan melalui program edukasi lingkungan berbasis nilai iman dan budaya lokal. Gereja, sekolah, dan tokoh adat bisa berperan strategis. Uskup Agung Ende telah Bersuara dalam Surat Gembalanya yang intinya tentang “pertobatan Ekologis” ini menandakan gereja sebagai tubuh yang hidup dalam Alam memiliki kesadaran penuh untuk menjaga keutuhan bukan membangun Keutuhan karena sedarinya telah dirancang oleh semesta. Kita adalah pewaris bukan pencipta. Kabupaten Ende dengan Triger Pembangunan Tiga Tungku perlu me-reaplikasikan hubungannya terlebih dalam pengelolaan lingkungan khususnya sampah.
3. Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas
Penguatan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bank sampah, dan pelatihan kompos rumah tangga dapat menjadi upaya konkret. Metode ini harus menjadi sirkulasi hidup dan terus dijaga keseimbangan kepentingannya. Masyarakat harus mulai dibantu kesadarannya untuk tidak memproduksi sampah namun mengelolah sampah. Limbah rumah tangga, limbah unit usaha kecil dan menengah, limbah adminitrasi perkantoran, sekolah dan seluruh sektor public lainnya harus dibebankan dengan kebijakan pengelolaan yang lebih pro terhadap penanganan sampah itu sendiri. Anak2 di sekolah harus lebih banyak bergaul dengan alam, berinovasi dengan alam, kolaborasi dengan alam tanpa mencedari alam. Misalkan semangat Pramuka juga menjadi semangat Prioritas didalam memperkanlakan metode TPS 3R.
4. Kolaborasi Lintas Sektor dan Gereja
Komunitas gereja dapat membentuk tim pertobatan ekologis untuk menginisiasi aksi nyata seperti tanam pohon, bersih pantai, hingga advokasi kebijakan ramah lingkungan.
Penutup
Pertobatan ekologis bukanlah wacana elitis, melainkan jalan iman yang sangat praktis dan membumi. Sebagaimana ditegaskan dalam Laudato Si’:
“Krisis ekologi menantang kita untuk hidup secara lebih bertanggung jawab, bersyukur, dan sederhana.” (LS 222)
Ende memiliki kekayaan alam, iman, dan budaya yang luar biasa. Namun, tanpa kesadaran ekologis yang mendalam, semua itu bisa hilang dalam sekejap. Saatnya kita bersama-sama—pemerintah, masyarakat, dan komunitas iman—memulai pertobatan ekologis dari tempat kita masing-masing. Karena bumi ini bukan hanya warisan, melainkan titipan Tuhan bagi generasi mendatang.